
Ruang Guru: Antara Tempat Istirahat dan Ladang Pertarungan Diam-diam
Bagi sebagian orang, ruang guru hanyalah tempat untuk duduk, minum teh, atau menandatangani administrasi sebelum bel pulang berbunyi.
Namun, bagi guru yang hidup di dalamnya setiap hari, ruang ini bisa menjadi ruang relasi — tempat berbagi cerita, tertawa, dan saling menguatkan di tengah beratnya pekerjaan mendidik.
Sayangnya, tidak semua relasi di ruang guru itu sehat.
Kita jarang membicarakan fakta ini, padahal banyak guru muda yang tumbang bukan karena murid, melainkan karena atmosfer yang dingin, bisik-bisik sindiran, dan klik senioritas yang menutup pintu kolaborasi.
Di satu sisi, circle antar guru bisa menjadi support system — tempat di mana beban pekerjaan dibagi, ide-ide kreatif dibicarakan, dan kegagalan pun dirayakan sebagai proses belajar.
Namun di sisi lain, ia juga bisa menjadi ruang paling toxic — tempat di mana idealisme mati perlahan, rasa percaya diri terkikis, dan motivasi mengajar luntur.
Budaya seperti ini jarang muncul di rapat resmi, tapi terasa nyata di sela-sela istirahat, dalam obrolan kecil, atau lewat sikap yang tidak diucapkan.
Mereka yang tidak masuk ke “lingkaran dalam” sering merasa terasing, sementara mereka yang ada di dalamnya kadang tak sadar sedang menciptakan jarak dengan rekan kerja lain.
Pertanyaannya,
- Apakah kamu pernah atau sedang berada dalam circle guru yang seperti ini?
- Atau justru kamu sedang berjuang agar tidak menjadi bagian dari budaya toxic itu?
Karena pada akhirnya, ruang guru adalah cerminan ekosistem pendidikan itu sendiri: apakah ia menjadi tempat tumbuh bersama, atau justru tempat pelan-pelan kita kehilangan nyala.